REN'S CANVAS.
3 min readFeb 13, 2022

RUMAH BORDIL.

Ciracas, Jakarta Timur.

Petang itu aku digiring ke sebuah rumah, tidak kecil, tidak besar. Ku jumpai lima hingga tujuh orang gadis dari berbagai kalangan usia. Mereka melempar pandangan yang ‘tak dapat aku artikan sepanjang ku berjalan menuju sebuah ruangan.

“Bos, masa kaga boleh sih kita nyicip dikit?”

“Leher lo mau gue patahin?”

Salah seorang lelaki jangkung menyerahkanku pada perempuan paruh baya dengan gaya berpakaian nyentrik.

“Siapa namanya, Mom Cassie?”

“Rosie. Permak dia, sejam lagi yang pesen kemari.”

Rebes, Mom.”

Aku bungkam sepanjang percakapan, lantas mengekori langkah puan yang belum lama ku ketahui sebagai penata rias di sini.

“Gak usah takut, Rosie. I Belinda, di sini kerjanya ya touch-up touch-up bookingan.”

Kursi putar menjadi tempatku mendaratkan bokong, aku dihadapkan pada sebuah cermin persegi panjang dengan besar yang mampu memantulkan seluruh sudut ruangan.

You udah cantik sih, tinggal dipoles— onde mande, lebam begini. You pasti melawan, ya? Aduh, Rosie, baiknya kalau ada urusan sama Mom Cassie jangan berontak, follow aja. You gak bakal terluka. Gini, nih, nambah I punya pekerjaan.”

Boleh dibilang, variasi alat rias di atas meja sangat lengkap. Jauh lebih banyak daripada saat aku didandani Mbak Fitri.

Jari-jari Belinda piawai membasuh bekas luka di wajah, kebas rasanya hingga tiada mampu aku rasakan pedih di sana. Ekor mataku menangkap raut keheranan dari sepasang alis yang bertaut. Ia mengernyit.

“Emang gak sakit apa you?”

“Rosie, you bukan bisu, ‘kan? Jawab lah kalau I tanya,” Tersirat frustasi dari nada bicaranya sebab aku ‘tak kunjung membuka suara.

“Engga, Mbak.”

Belinda melanjutkan tugasnya. Foundation harus bekerja ekstra untuk menutup cela di pelipis, sudut kelopak mata, pula tepian bibir. Kuas hitam beri rona kemerahan di kedua pipi, sentuhan berikutnya ia memoleskan gincu warna coral pada ranumku.

Rupa-rupanya, Belinda pula yang menata gaya rambutku. Meski, sebetulnya tidak banyak diubah, ia hanya menyisir surai agar aku nampak jauh lebih rapi.

“Memang orang punya basic cantik, gak usah banyak make-up udah kinclong. Gih, ganti baju sana, digantung yang warna hitam ya, sayang.”

Aku beranjak usai sekian menit menerima riasan, kuasa meraih setelan gaun sesuai instruksi Belinda. Off-shoulder dengan potongan dada lebar, panjang busana bahkan tidak mencapai lutut. Anting bulat besar dan kalung hati sebagai liontin menjadi pelengkap penampilan.

“Bel, kelar belum? Udah dateng nih si Bos,” Suara bariton cukup familiar menggedor pintu ruangan.

“Sabar, atuh, Gatot. Paling juga masih ngobrol sama Mommy, ‘kan,” Ucap Belinda ‘tak acuh.

Belinda memilih untuk menuntunku menuju ruang lain, pintu kusen mahoni tertutup rapat meski nampak tidak terkunci. Kepalan tangan mengetuk perlahan hingga seorang wira membuka pembatas antar ruang.

Ready, nih.”

“Rosie, angkat kepalamu. Sapa pemilikmu.”

Jemala yang tertunduk perlahan menyisir sosok di hadapan yang sedang duduk. Sepasang sepatu, celana panjang, jua jas dengan nuansa sama——hitam——dari bawah ke atas.

Manik kembar membulat mendapati seorang wira yang jelas aku tahu siapa dia. Lagaknya santai dan begitu tenang, mengulas senyuman.

“Salam kenal, Rosie.”

Mom Cassie——begitu orang memanggil si muncikari——turut melempar senyum puas.

“Boleh langsung saya bawa, Madam?”

Of course, tentu, saya senang sekali berbisnis dengan Sir Marthen.”

Apa-apaan ini, Djuanda?

Bersambung.

REN'S CANVAS.
REN'S CANVAS.

Written by REN'S CANVAS.

Menulis untuk kesenangan diri dan kepuasan hati. Blog ini berisi kisah-kisah dari karakter fiksi buatannya.

No responses yet